
Sejak rekaman Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi diputar di MK, istilah makelar kasus (markus) mulai populer..namun sebutan markus (makelar kasus) memang tidak dikenal dalam terminologi bahasa. Markus lahir seiring dengan fakta sosial. Tentu perlu kajian lebih mendalam untuk menemukan formulasi yang lebih tepat. (http://www.detiknews.com/read/2010/01/15/192729/1279597/10/istilah-makelar-kasus-versi-kabareskrim-polri)
Saya nggak mau ikut-ikutan ruwet membicarakan apa, bagaimana dan siapa markus tersebut mengingat tidak memiliki pengalaman dan kompetensi yang memadai untuk itu. Disisi lain isitilah ini saya coba analogikan pada situasi lain yang mirip tetapi memiliki konteks dan tujuan yang jelas beda. Meskipun tentu saja istilah markus yang "sudah terkenal" aja masih memiliki multitafsir, apalagi dengan istilah yang saya pakai mungkin ada yang akan bilang waah ngacoo ...atau halah maksa .. he he he.
Tidak apa-apa yang penting bagi saya adalah pada pemahaman esensi dan eksistensinya. Istilah yang saya pakai adalah "Marsus" yang merupakan akronim dari makelar khusus. Konteksnya pun bukan pada domain publik tapi lebih pada domain pengalaman internal/pribadi. Marsus ini memiliki peran sama seperti makelar pada umumnya yaitu mencoba menawarkan dan memberikan bantuan untuk menguruskan dan menyelesaikan suatu kebutuhan atau permintaan tertentu atas dasar kesepakatan dan aturan main bersama yang mengikat kedua belah pihak (ini juga terminologi versi saya lho ...xi xi xi)
Konteks kebutuhan internal/pribadi ini tentu saja lebih banyak yang bersifat informal, seperti misalnya mencoba mempertemukan "demand vs supply" dari anggota keluarga atau kerabat yang ingin "membersihkan harta" mereka melalui berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Dan kelihatannya selama ini bentuk kegiatan seperti ini menjadi porsi terbesar saya yang mungkin sesuai dengan istilah "marsus" tersebut diatas.
Kelihatan untuk bisa berperan selayaknya sebagai marsus yang handal juga membutuhkan bukan hanya keterampilan managerial yang unik tetapi juga "kecerdasan emosional" yang mungkin tidak sama dengan nilai dan etika yang terjadi dalam pola hubungan transaksional yang bersifat formal. Meskipun dari keduanya harus memilki koridor untuk mengukur kualitas dan kinerjanya yaitu tetap harus memenuhi kaidah good & clean governance antara lain meliputi akuntabilitas,transparansi serta profesional. Siapa dan bagaimana mengukurnya? tentu saja nggak harus menyewa semacam auditor khusus melainkan cukup dengan model pelaporan sederhana dan yang paling penting adalah siapa saksinya kalau bukan diri sendiri dan Yang Maha Melihat..
Marsus butuh kelegawaan selain kelegaan dari sisi waktu, pikiran dan tenaga bahkan juga dana, lalu apa yang akan diperoleh dari peran tersebut? ..hanya satu : kepuasan bathin yang luar biasa..... anda berminat? :)
Kelud, 24 Maret 2010