
Perbedaan persepsi dan penafsiran memang biasa terjadi namun akan menjadi aneh dan membingungkan apalagi hal itu terjadi pada elit pimpinan kita terhadap sesuatu kebijakan yang menyangkut publik. Kelihatannya peristiwa itulah yang terjadi saat Gubernur Jateng Bibit Waluyo melantik Walikota Tegal yang menegaskan bahwa tidak sepantasnya para pimpinan daerah membodohi masyarakat dengan berbagai slogan kesehatan dan pendidikan gratis.(Suara Merdeka, 24 Maret 2009) .
Hal ini langsung mendapat reaksi dari seorang anggota DPR Komisi X yang menyatakan bahwa penggratisan kesehatan dan pendidikan sudah sesuai dengan amanat UU tentang APBN. Kelihatan sekali muncul perbedaan sudut pandang dari kedua tokoh ini. Hal yang sama mungkin saja akan terus terjadi di berbagai level kepemimpinan di daerah. Jika tidak disepahamkan maka akan menjadi polemik yang berkepanjangn serta menimbulkan ekses yang kian membingungkan masyarakat.
Versi Rakyat
Persepsi tentang biaya bisa dibedakan menurut tiga sudut pandang. Bagi masyarakat tafsir biaya kesehatan dipersepsikan menjadi semua jenis pengorbanan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Baik itu terkait dengan pembayaran retribusi, tarif pelayanan/obat sampai dengan biaya penunjang lain berupa transportasi/akomodasi.
Menurut berbagai penelitian komponen biaya lain-lain inilah yang sering memberatkan masyarakat sekalipun tarif kesehatannya sudah digratiskan. Jadi kalau mau diributkan mestinhya bukan pada penggratisan tarif kesehatannya saja, tapi para pemimpin ini sama-sama bertanggung jawab penuh untuk membangun infrastruktur dan mendistribusikan sumber daya terutama tenaga kesehatan secara merata sehingga aksesibilitasnya masyarakat tidak terhambat.Underlying factors seperti ini yang mungkin “sulit” dimengerti sehingga belum pernah menjadi prioritas dari para pemimpin kita.
Versi Penyelenggara
Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, konsep biaya diartikan sebagai semua bentuk pengeluaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan jasa kesehatan buat konsumen sesuai dengan standar dan demand yang ada. Biaya kesehatan yang kian tak terjangkau cenderung berawal dari kenakalan para provider ini. Overulitization dan maraknya moral hazard disisi lain juga mencerminkan lemahnya posisi konsumen/rakyat sehingga mudah untuk dieksploitasi
. Perlu diingat, meskipun akhirnya digratiskan dan rakyat memang tidak mengeluarkan dari kantong sendiri, akan tetapi akibat inefisiensi yang terjadi pada hakekatnya tetap akan ditanggung sebagian besar oleh masyarakat. Bagaimana tidak, biaya subsidii penggratisan tersebut tetpa diambilkan dari hasil penarikan pajak di masyarakat yang nilainya tiap tahun bisa mencapai sekitar 70-80% (Rp. 700-800 triliun) dari pendapatan negara.
Versi Regulator
Sedangkan pemahaman biaya kesehatan bagi pemerintah/regulator adalah jumlah alokasi anggaran untuk memberi subsidi dan pembangunan sektor kesehatan baik yang bersifat individu atau publik. Saat ini aloasinya masih sangat jauh (sekitar hanya 0,9%) dari standar WHO yang seharusnya minimal 5% dari PDB negara kita. Ini menjadi PR yang tetap sulit terpecahkan sejak republik ini berdiri.
Belum lagi masih maraknya KKN yang melibatkan oknum pejabat dan pengusaha seperti yang baru saja diungkap oleh KPK terkait mark-up pengadaan barang untuk wilayah terpencil di Indonesia Bagian Timur dengan kerugian negara mencapai Rp.71 miliar. Bukan hanya aspek kriminalnya saja yang tergolong berat, tetapi para koruptor kesehatan ini seperti tidak pernah memperhitungkan efek domino akibat ulah mereka. Saat seorang pasien terlambat ditangani sepersekian detik saja tentu nyawalah taruhannya. Kitapun sulit menghitung sudah berapa nyawa melayang “sia-sia” atau menderita cacat seumur hidup akibat terlambat ditangani mengingat alatnya. rusak/tidak ada karena dikorupsi? Sayangnya hingga kin belum ada kajian yang berhasil mengungkapkan fakta tersebut.
Perbedaan tafsir antar pemimpin yang disatu sisi ingin fokus memberdayakan masyarakat janganlah kemudian dibenturkan dengan misi lain untuk membela hak rakyat. Sebuah fenomena yang seharusnya tidak perlu dan memang tidak sepantasnya terjadi. Karena misi untuk melindungi hak rakyat terutama dalam kondisi krisis global/jangka pendek tidak serta merta harus melemahkan upaya jangka panjang mendidik masyarakat agar tidak menjadi bodoh dan terus dibodohi oleh pemimpinnya demikian juga sebaliknya.