Minggu, April 25, 2010

Menunggu Petruk Dadi Ratu

Sekitar tiga hari yang lalu, tiba tiba masuk sebuah email dari kangmasku yang tinggal di Bontang. Sejenak kuperhatikan dari judulnya sepertinya nggak seperti biasanya "PETRUK DADI RATU". Ini merupakan lakon wayang yang sudah sering dipagelarkan dalam acara-acara tertentu kelihatannya yang cukup sering ditanggap saat pemilihan atau pelantikan pejabat baru. Mungkin ada beberapa nilai hikmah yang ingin diinget oleh para pejabat baru tersebut terkait dengan posisinya sebagai seorang pemimpin. Sebenarnya saya jg pernah menulis dengan judul Petruk Dadi Ratu diblog ini bulan Juni 2009 kemarin, tetapi dalam konteks & tujuan yang berbeda. (Siapa dan bagaimana riwayat tokoh Petruk monggo bisa diakses di wikipedia berikut ini : http://id.wikipedia.org/wiki/Petruk)


Kembali ke email yg tadi, setelah aku buka ternyata berisi tulisan bebas dari seseorang yang sayangnya nggak tertulis nama pengarangnya. Untuk dapat memahami secara lebih kritis dengan kemasan bahasa yang segar mungkin tulisan tersebut menjadi salah satu alternatif nambah ilmu terkait filosofi kepemimpinan versi budaya jawa. Oleh karena itu saya tertarik untuk ikut sharing tulisan tersebut buat temen-temen semua siapa tahu juga tertarik dan bisa mengambil hikmah. Sumonggo dinikmati ...

Menunggu Petruk Jadi Ratu
I

“Le… aku ngenteni Petruk dadi ratu…” Mbahku tiba-tiba nyeblung tanpa
ujung pangkal.

“Eling mbah..nyebut, but..but..” Sambil menimpali mbahku, bayanganku
tentang Petruk jumpalitan, Tinggi, hidung mancung, kulit putih
kemerah-merahan dan sialnya mata Petruk biru bersinar.

“Kangen Deandlles mbah” Aku nyeletuk setengah mengejek kerinduannya
pada jaman merah-putih-birunya.

“Kangen.. Ndasmu kuwe..” kromo inggilnya lansung mencolot plus ludah
yang nyembur dari bibirnya ketika melafalkan kata “Ndasmu“.

Kalau sudah begini, alamat kuliah malam gratis nih, jurus andalan
kusiapkan. Muka ngatuk, tampang memelas dan mulut disetel
angob-angoban. Pura pura tidur. Hapal siasatku Mbah merubah cara…

Plok !!

Sandal bandrol seberat setengah kilo yang terbuat dari bekas ban
tronton menimpa mukaku. Rasa pedes dan panas langsung menyebar dari
mukaku.

“Jiangkriiiik…..wedusssss..asuuuuu…” batinku langsung misuh-misuh, ya
hanya mbatin tentu. Karena bagaimanapun, aku tahu resiko bila kebun
binatangku sampai keluar melewati mulut, bukan cuma sandal, tetapi
selop, sepatu boot bahkan amben tingkat akan mengabil alih tugas
sandal bandrol. “Dan itu pasti UGD” pikirku jernih.

“Pernah membayangkan sebuah tatanan di jungkir balikan..?” Mbahku
langsung nerocos.

“Ya, itulah goro-goro le, Bumi gonjang-ganjing, langit
kelap-kelap…begitu biasanya dalang ngethuprus” Mbahku tiba-tiba
amnesia dan aku baru nyadar bahwa dia sama ngethuprusnya dengan ki
dalang.

“Setting situasinya jelas suasana yang ‘chaos’ dan ditandai gunung
meletus, bukit ambrol segoro sat dan panggeblug yang datang”

Begitu lah awalnya penderitaanku diperkosa oleh simbah yang rindu
jaman raja. Berjam-jam lamanya setelah itu, alamku dikuasai oleh
negeri entah berantah dan nama-nama yang walau kukenal tetaplah terasa
asing. Pada tarikan pertama sandal bandrol, selop, sepatu boot atau
amben tingkat lebih menakutkanku, sehingga mata yang sudah lima watt
mesti di guyur bergelas-gelas kopi agar bisa lebih mendhelo.

Lalu pelan-pelan, Semar, Petruk, Gareng dan Bagong mulai menari-nari
dalam setengah kantukku. Kentut Semar, hidung si Petruk, pengkrang si
Gareng dan suara sember si Bagong lama-lama terasa akrab mengisi
dimensi khayalku.

II

Goro-goro versi wayang kulit harusnya dimaknai sebagai simbolisasi
dari perlawanan terhadap kekuasaan yang dijungkir balikkan melalui
cerita. Bahkan para dalang jaman bahuela terbiasa mendemontrasikan
pemberontakannya atau ide-ide pembaharuannya pada sesi goro-goro ini.

Berbicara goro-goro tak nyamleng bila tak membicarakan lakon utama
dalam goro-goro itu sendiri. Ya, goro-goro atau jungkir baliknya dunia
adalah saatnya bagi punakawan tampil. Beberapa tokoh jelek jejogedan
dan uro-uro semaunya, cebang-ceblung ngalor ngidul omongannya tetapi
pesannya jelas.

Megahnya istana Atmartha atau Hastina di dilupakan, sebagai gantinya
suasana pedesaaan Karangkedempel atau Pecukpecukilan ditampilkan, ini
jamannya kaum kromo. Begitu tegasnya goro-goro.

Di tanah asalnya, di lembah Sungai Gangga dan Yamuna di selatan
Himalaya, konsep wayang punakawan sama sekali tidaklah dikenal. Dengan
kata lain konsep rakyat jelata dalam struktur wayang India juga tidak
tidak ada.

Dengarlah imbauan Manusmriti yang mengatakan, “… untuk menjalankan
tugas negara, Ksatria dan Brahmana harus bersatu, dan Sudra harus
menjalankan tugas yang telah digariskan. Sudra harus menekuni
kewajibannya sendiri. Tak boleh berpikir mengenai urusan negara”
Cerita wayang adalah cerita tentang para ksatria, para dewa dan para
raja dan tak ada tempat bagi para hamba.

Konsep punakawan adalah murni hasil pemikiran kerakyatan manusia Jawa.
Dia mewakili pandangan ideologis rakyat yang serong ke “kiri”,
sekaligus mewakili pandangan-pandangan akar rumput yang membebaskan.

Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan
bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur,
kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.

Alkisah, di dasar samudera, seorang pertapa raksasa, Begawan Salantara
atau raja Gandarwa begitu biasa dia disebut. Berputra pemuda gagah bak
Casanova. Namanya Bambang Pecrukpenyukilan. Meskipun suka asbun,
Bambang Pecrukpenyukilan mewarisi kesaktian ayahnya, hingga di
kampungnya dia menjadi jejadug.

Merasa tak mendapat lawan setimpal di kampung, dia naik kedarat
mencari lawan untuk menjajal kesaktian. Beruntunglah, ada Bambang
Sukakadi, pemuda dari pertapaan Bluluktiba yang ingin menjajal ilmu
kebalnya.

Pertempuran gaya pasar pagipun tak terelakkan. Keduanya saling
menendang, memukul, menginjak, menyikut, mengigit dan brakotan.
Alhasil rusaklah badan mereka. Tanpa operasi plastik kedua pemuda yang
tadinya gagah berubah wujud menjadi dua sosok berwajah aneh dan
ancur-ancuran.

Untunglah sebelum perkelahian gaya bebas berakibat fatal datang Sang
Smarasanta alias Ki Semar Badranaya bersama jelmaan bayangannya,
Bagong (Bawor=Banyumas, Besut=Jawa Timur, Cepot=Sunda). Atas wejangan
Semar kedua pemuda itu tersentuh dan bertekad mengabdi seumur hidup
pada Ki Semar.

Sejak itu Bambang Pecrukpenyukilan berubah nama menjadi Petruk dan
Bambang Sukakadi berubah nama menjadi Gareng. Bersama Semar, Gareng
dan Bagong, Petruk menjadi panakawan, pengiring setia para ksatria
Pandawa. Dan kebetulan Petruk-lah yang ingin saya ceritakan kali ini
dalam kisah paling merakyat, Petruk Dadi Ratu.

Dhok..derodhok..dhok.. dhok… Sang dalang menghajar kothaknya untuk
memulai cerita.

Pertarungan baru saja di mulai, dengan mudahnya para ksatria Astina
dan Amarta yang dikagumi dan diyakini memiliki kesaktian tak
terbayangkan KO dalam sekali pukul. Sebuah negara kecil, Sonyawibawa,
muncul tiba-tiba di pojokan Astina yang agung. Mengaku berdaulat dan
menantang perang Astina. Hasilnya David mengalahkan Goliath. Dan
Petruk menjadi raja dan menghadiahi gelar pada dirinya sendiri Sang
Prabu Baginda Belgeduwelbeh Tongtongsot Upilkulegen Hanyokrowati
Mbaudendo Panato Senggomo’ne Kenya Limo.

Bagi Petruk menjadi raja adalah amanat, dan kesaktian yang bisa
mengalahkan para ksatria adalah kekuatan akar rumput yang sudah muak
akan penindasan. Kekuatan nurani rakyat yang tak dapat dikalahkan oleh
segala macam kesaktian andalan para ksatria. Dan Petruk adalah
semangatnya.

Petruk menjadi raja bukan karena dia marah dan mendendam pada para
majikannya. Dan dia juga tidak memiliki ajian mumpung, mumpung
berkesempatan memegang jimat Kalimasada. Petruk bukan itu. Dia malah
menawarkan kesempatan para ksatria untuk sejenak ijolan nggon
(bertukar tempat) dengan para hamba.

Petruk juga mengajarkan kepada para satria ilmu yang seringkali
dilupakan para ksatria. Ilmu mendengarkan, ilmu hidup prihatin, ilmu
ditimpa kesewenangan dan ketidakadilan, ilmu mengaduh tanpa suara,
ilmu menghamba tetapi berjiwa merdeka.

Karena jika ksatria mempunyai hati hamba, apalah susahnya hidup
sederhana? Jika ksatria mempunyai telinga, apa susahnya diam
mendengar? Jika ksatria bermata, apa susahnya melihat realita? Jika
ksatria berotak, apa susahnya mikir rakyatnya?

Jungkir-baliknya tatanan istana yang mulia bukannya tanpa sengaja oleh
Petruk. Tetapi karena memang bahasa Petruk adalah bahasa kampung,
udik, ndeso dan katrok. Petruk justru mengingatkan, tatanan hanyalah
tatanan, hukum hanyalah hukum dan nilai hanyalah nilai. Manusialah
yang harusnya menjadi tujuan termulia.

Ketika ksatria menjadi penghamba lekuk-liku birokrasi istana, guna apa
mereka bagi kawula? Bukankah raja ada karena ada kawula, dan raja
hanya dititipi amanah semata dan bertahta demi rakyatnya?

Bukankah tatanan, hukum, nilai atau apapun dibuat demi kesejahteraan
rakyatnya? Dan Petruk ingin meningatkan hal itu.

Petruk bukannya kurang ajar menembus hierarki, tetapi itu adalah
keniscayaan. Ketika semua saluran mampet. Dan kondisi menciptakan
penjegalan supaya yang dibawah tak bisa meluncur ke atas, ketika
kelompok atas enggan turun ke bawah, saat itulah Petruk sang pembebas
muncul. Dia menunjukan bahwa semua orang berhak berkuasa, semua orang
layak menghamba. Hanya akhlak dan kemampuanlah penentunya.

Dan Petruk tetaplah Petruk kejayaan tiadaklah menghapus
kesederhanaanya. Meskipun menjadi raja sakti madraguna kaya raya,
tetap dipilihnya permaisuri buruk rupa. Pas benar dengan dirinya.
Tidak mengumbar keinginan meskipun bisa.

Lihatlah ketika pelantikan dirinya, yang ingin ditontonya bukan
dansa-dansi atau opera yang ndakik-ndakik. Dia hanya ingin nonton
tayub dengan ledek yang bisa goyang ngebor mirip Inul. Hobinya pun
bukan langsung ganti dengan golf atau clubbing, tetap gobag slodor.

Dan ketika waktunya tiba, Petruk runtuh ketika harus berhadapan dengan
Bagong saudaranya sesamanya. Bukan dengan ilmu dan aji jaya kawijayan
bak ksatria. Namun dengan berkelahi gaya bebas khas pinggiran,
mbrakot, nyokot, nyuwek dan njabak. Ya gelut gaya pasar pagi, itulah
bahasa Petruk, bahasa Bagong, bahasa rakyat.

III

Malam berikutnya, justru ketika malam baru mulai beranjak. Kulihat
Mbahku sudah sare, tubuhnya terayun-ayun pelan seirama alunan kursi
goyang buntutnya. Nafasnya teratur sareh.

“Mbah wungu mbah, cerita lagi Petruk Dadi Ratu Mbah” kubisikan
permintaanku lirih tepat ditelinganya.

“Petruk Dadi Ratu Ndasmu po…!! Tangi le.. jo ngimpi.. Tangi..!!!”
sahut Mbahku terus, bleg… Tertidur lagi.

Kuambil jarit lurik dan sarung balinya dan kuselimutkan di dadanya
yang terbuka. Ah.. Mbahku masih saja selalu benar. Petruk Dadi Ratu
memang hanya hidup di dalam mimpi.