Senin, Maret 30, 2009

MULTITAFSIR PENGGRATISAN BIAYA KESEHATAN


Perbedaan persepsi dan penafsiran memang biasa terjadi namun akan menjadi aneh dan membingungkan apalagi hal itu terjadi pada elit pimpinan kita terhadap sesuatu kebijakan yang menyangkut publik. Kelihatannya peristiwa itulah yang terjadi saat Gubernur Jateng Bibit Waluyo melantik Walikota Tegal yang menegaskan bahwa tidak sepantasnya para pimpinan daerah membodohi masyarakat dengan berbagai slogan kesehatan dan pendidikan gratis.(Suara Merdeka, 24 Maret 2009) .

Hal ini langsung mendapat reaksi dari seorang anggota DPR Komisi X yang menyatakan bahwa penggratisan kesehatan dan pendidikan sudah sesuai dengan amanat UU tentang APBN. Kelihatan sekali muncul perbedaan sudut pandang dari kedua tokoh ini. Hal yang sama mungkin saja akan terus terjadi di berbagai level kepemimpinan di daerah. Jika tidak disepahamkan maka akan menjadi polemik yang berkepanjangn serta menimbulkan ekses yang kian membingungkan masyarakat.

Versi Rakyat

Persepsi tentang biaya bisa dibedakan menurut tiga sudut pandang. Bagi masyarakat tafsir biaya kesehatan dipersepsikan menjadi semua jenis pengorbanan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Baik itu terkait dengan pembayaran retribusi, tarif pelayanan/obat sampai dengan biaya penunjang lain berupa transportasi/akomodasi.

Menurut berbagai penelitian komponen biaya lain-lain inilah yang sering memberatkan masyarakat sekalipun tarif kesehatannya sudah digratiskan. Jadi kalau mau diributkan mestinhya bukan pada penggratisan tarif kesehatannya saja, tapi para pemimpin ini sama-sama bertanggung jawab penuh untuk membangun infrastruktur dan mendistribusikan sumber daya terutama tenaga kesehatan secara merata sehingga aksesibilitasnya masyarakat tidak terhambat.Underlying factors seperti ini yang mungkin “sulit” dimengerti sehingga belum pernah menjadi prioritas dari para pemimpin kita.

Versi Penyelenggara

Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, konsep biaya diartikan sebagai semua bentuk pengeluaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan jasa kesehatan buat konsumen sesuai dengan standar dan demand yang ada. Biaya kesehatan yang kian tak terjangkau cenderung berawal dari kenakalan para provider ini. Overulitization dan maraknya moral hazard disisi lain juga mencerminkan lemahnya posisi konsumen/rakyat sehingga mudah untuk dieksploitasi

. Perlu diingat, meskipun akhirnya digratiskan dan rakyat memang tidak mengeluarkan dari kantong sendiri, akan tetapi akibat inefisiensi yang terjadi pada hakekatnya tetap akan ditanggung sebagian besar oleh masyarakat. Bagaimana tidak, biaya subsidii penggratisan tersebut tetpa diambilkan dari hasil penarikan pajak di masyarakat yang nilainya tiap tahun bisa mencapai sekitar 70-80% (Rp. 700-800 triliun) dari pendapatan negara.

Versi Regulator

Sedangkan pemahaman biaya kesehatan bagi pemerintah/regulator adalah jumlah alokasi anggaran untuk memberi subsidi dan pembangunan sektor kesehatan baik yang bersifat individu atau publik. Saat ini aloasinya masih sangat jauh (sekitar hanya 0,9%) dari standar WHO yang seharusnya minimal 5% dari PDB negara kita. Ini menjadi PR yang tetap sulit terpecahkan sejak republik ini berdiri.

Belum lagi masih maraknya KKN yang melibatkan oknum pejabat dan pengusaha seperti yang baru saja diungkap oleh KPK terkait mark-up pengadaan barang untuk wilayah terpencil di Indonesia Bagian Timur dengan kerugian negara mencapai Rp.71 miliar. Bukan hanya aspek kriminalnya saja yang tergolong berat, tetapi para koruptor kesehatan ini seperti tidak pernah memperhitungkan efek domino akibat ulah mereka. Saat seorang pasien terlambat ditangani sepersekian detik saja tentu nyawalah taruhannya. Kitapun sulit menghitung sudah berapa nyawa melayang “sia-sia” atau menderita cacat seumur hidup akibat terlambat ditangani mengingat alatnya. rusak/tidak ada karena dikorupsi? Sayangnya hingga kin belum ada kajian yang berhasil mengungkapkan fakta tersebut.

Perbedaan tafsir antar pemimpin yang disatu sisi ingin fokus memberdayakan masyarakat janganlah kemudian dibenturkan dengan misi lain untuk membela hak rakyat. Sebuah fenomena yang seharusnya tidak perlu dan memang tidak sepantasnya terjadi. Karena misi untuk melindungi hak rakyat terutama dalam kondisi krisis global/jangka pendek tidak serta merta harus melemahkan upaya jangka panjang mendidik masyarakat agar tidak menjadi bodoh dan terus dibodohi oleh pemimpinnya demikian juga sebaliknya.

Jumat, Maret 27, 2009

Gaya SPARTAN vs Gaya KARBITAN (Dokter Palsu)

Perjalanan panjang dan melelahkan untuk menjadi seorang dokter umum pada jaman saya dulu (era 80-an) mungkin tidak serumit dan semahal sekarang... Bayangkan untuk sekedar masuk orang tua harus merogoh kocek sampai ratusan juta rupiah... ini khusus untuk jalur kerjasama (istilah kerennya) Meskipun anak/adik/keponakan kita sudah termasuk ranking 10 keatas di sekolahnya ...toh mesti harus bayar dan bersaing dengan yang lain sedemikian ketatnya untuk memperebutkan jatah tanpa test dari jalur tersebut...!

Saya nggak ingin mengusik lebih lanjut tentang carut marut model seleksi mahasiswa baru dari pendidikan kedokteran dengan biayanya yang masya Allah ....
Saya lebih terusik dengan munculnya kasus dokter palsu yang kebetulan baru aja tertangkap di Semarang minggu ini... apanya yang menarik ? ... Bukan masalah modus operandi-nya yang telah ditulis secara serial dikoran lokal ... akan tetapi menurut saya adalah proses "kaderisasi" yang terjadi dari kasus tersebut. Sungguh terkesan demikian mudah dan gampangnya menjadi seorang "dokter palsu" kebetulan dalam kasus itu adalah dokter kandungan palsu ..

Proses transfer of knowledge & skill berlangsung secara otodidak, cepat dan sederhana dilakukan Ipung (jebolan SE) sang "dokter obsgyn" ini. Betapa tidak hanya dengan berbekal pengalaman menjadi asisten dari Hanung (jebolan D3 Farmasi, yang kebetulan pernah jadi staf saya di sebuah klinik sekitar tahun 1997-1999) yang pernah sukses menjadi "dokter obsgyn palsu" dan akhirnya tertangkap tangan sekitar lebih dari 1 tahun yang lalu ...
dan dengan bermodal klik sana klik sini di internet....akhirnya dia benar2 bisa menjelma menjadi seorang dokter palsu yang cukup piawai menangani sebanyak 30-an tindakan aborsi ilegal hanya dalam tempo kurang dari 6 bulan!

Dibandingkan dengan segeplok uang yang mesti disetorkan untuk menyekolahkan anak/adik ke FK ....serta harus ditempuh melalui proses belajar gaya spartan khas pendidikan dokter selama minimal 6,5 th serta harus di"buang" dulu kedaerah sekitar 1-3 tahun kemudian harus kembali masuk "kandang macan" lagi untuk mengambil spesialisasi yang untuk kandungan biasanya relatif lama & sulit (sekitar 5 th bahkan lebih) setelah itu masih harus "wajib kerja" lagi minimal 1 tahun untuk mendapatkan SK penempatan yang terakhir sebagai dokter spesialis kandungan disuatu daerah yang dia pilih atau ditempatkan oleh pemerintah (jika sebagai PNS) ...yang belum tentu cocok dengan pilihannya? Jika mau ambil gelar konsultan (K) dibelakang gelar spesialisnya ternyata masih harus "nyantrik" lagi dengan biaya yg juga aduhai tentunya ...mungkin sekitar 3-5 th lagi ....(tergantung nasib dan kepinterannya)

Sehingga secara umum total waktu tempuh pendidikan agar jadi dokter kandungan yang bisa "bebas" praktek ..praktis memakan waktu antara 10 - 15 tahun ?? ...tentu dengan biaya dan jerih payah yang bisa anda bayangkan sendiri ... Nah jika dibandingkan dengan crash program alias karbitan ala dokter palsu yang cukup ditempuh dengan hitungan bulan ...dan sudah siap beraksi dan herannya bisa dikatakan cukup "sukses" .... (jika tidak tertangkap mungkin akan kian panjang antrian pasiennya?) .....


Jadi temans .... ada satu pertanyaan besar yang justeru mengusik nurani saya saat ini.... bukan pada aspek kriminalnya atau tentang bobroknya moral para pelaku (dokter palsu dan pasiennya)...tapi lebih pada sebuah pertanyaan ......... sebenarnya sudah cukup efektif dan efisienkah design pendidikan dokter spesialis kita... jika akhirnya muncul kesan kok "bisa tersaingi" secara relatif mudah, cepat, murah oleh gaya karbitan dari para dokter palsu tersebut dan yang lebih memprihatinkan ternyata mereka selalu bisa eksis dan cukup direspon oleh pasar ......??? Maaf jika saya dianggap kurang pas dalam bertanya....

Minggu, Maret 22, 2009

Apa enaknya jadi keluarga pejabat?

Apa enaknya jadi saudaranya pejabat di negeri ini ....?
mungkin banyak yang akan menjawab ..."waah tentu saja enak, bisa ikut terkenal ...!"
yang lain nimbrung "banyak fasilitas dan kemudahan ..itu yang pasti!"
atau "bisa cepet kaya nih dan melesat jenjang kariernya....kan koneksinya buanyaaak!"
bahkan ada yang sinis berkomentar "ya ..semua memang jadi lebih gampang ....terutama gampang korupsi dan manipulasi ..yo mesti toh?
dan yang paling netral & sedikit cuek mungkin berujar "yang jadi pejabatkan bukan dia ... gitu aja kok repot!"

Bener nggak sih banyak enaknya daripada banyak susahnya...... ?
jika kita jeli mungkin ada banyak sisi nggak enaknya deh! coba bayangkan saja .....
kemana-mana anda akan disorot ....paling sering ada celetukan " kok keluarga pejabat kemana-mana naiknya motor (alias miskin) sih?"
sering juga ada yang sinis nyahut " heh! heran aku...kamu kok nggak kayak saudaramu itu ...sudah pinter...terkenal lagi !!"
selain itu yang menggelikan sering juga terjadi seorang kolega dengan suara keras ngomong "perkenalkan ini lho keluarga si "X" ...yang pejabat itu lho!" dan herannya yang memperkenalkan malah kelihatan terkesan lebih bangga ....dan kitanya tentu jadi lebih tengsin?
banyak lagi yang akan memprotes .." keluargamu kan pejabat ...harusnya kamu bisa minta tolong dong!!"
dan yang lebih runyam mungkin dianggap diri kita juga "kaya & berkuasa" seperti pejabat sungguhan maka terkadang banyak orang yang antre baik perorangan atau kelompok sambil penuh harap memohon ..."pak ...minta bantuannya dong....!" sambil menyerahkan map isi proposal atau kuitansi kosong....
mau ditolak kok dikira pelit .....jika diberi sedikit nanti dikira "miskin amat nih...", nah kalau diberi lebih banyak mungkin kita akan mbathin....."alamak !....habis dong bonus saya kerja seharian ini ....?"

Jadi siapa bilang enak jadi keluarga pejabat?

Senin, Maret 16, 2009

Fasilitasi Roadshow 2008-2009



Deretan gambar diatas sekedar saksi dari sekelumit kisah perjalanan seseorang yang tengah merantas sebuah pencarian eksistensi sekaligus aktualisasi ilmu buat bangsa dan negara ini ....tidak ada yang sempurna dan bisa dibanggakan ... sekalipun bagi saya ...semua pengalaman tersebut telah benar-benar mencerahkan dan menceriakan sisi bathin yang paling dalam...bahwa paling tidak saya telah mencoba berbuat sesuatu dalam hidup ini untuk orang lain....sekecil apapun ...semoga bisa menginspirasi serta menginisiasi sebuah perubahan kearah yang lebih baik untuk rakyat dan negara ini di masa mendatang .....

Jumat, Maret 13, 2009

RUMAH IMPIAN ?

Ada yang bilang hidup tidaklah lengkap jika kita belum punya istri atau suami...
mungkin jika sudah punya pasangan hidup, kita masih merasa belum sempurna jika tanpa kehadiran buah hati tercinta ...anak-anak kita
Saat sudah mendapatkan karunia momongan, selanjutnya yang muncul tantangan untuk mencari nafkah dan memilih karir yang paling kita senangi sekaligus menjanjikan....
Manakala sudah mendapatkan karir dan gaji .. apa lagi yang kemudian mendesak buat kita wujudkan?
....
Tentu banyak versi untuk menjawabnya ...meskipun begitu minimal ada satu impian yang secara umum menjadi semacam "obsesi" buat siapa saja yang sudah berkeluarga....yaitu impian untuk membangun atau mempunyai sebuah rumah yang sesuai dengan cita rasa, citra dan kepribadian yang menempatinya ...
....
Seberapa jauh ambisi kita untuk mendapatkan rumah impian tersebut? Apa kriteria dan pemaknaan dari sebuah rumah impian menurut kita? ... Apa karena mewahnya? atau karena strategisnya? ...atau karena nuansa lingkungannya? ...atau mungkin yang lain ....? dan pertanyaan terakhir... kira-kira sudah terwujudkah semua kriteria dan pemaknaan rumah impian tersebut saat membandingkan dengan rumah yang sudah atau mau kita tempati??

Berbagai pertanyaan itulah yang sekarang ini berkecamuk dalam pikiran saya ...paling tidak setelah hampir 16 tahun menunggu...dan saat tiba untuk meraihnya mengapa justeru muncul berbagai pertanyaan tersebut yang buat saya sendiri ternyata sulit menemukan jawabannya? ....Bagaimana dengan Anda?

Jumat, Maret 06, 2009

IBUKOTA YANG "TERBELAKANG"

Seringkali kolegaku saat berkunjung atau sekedar mampir ke kota Semarang, mereka cukup heran dan berkomentar begini.. " Mas, orang sini hobinya makan ya...tuh lihat seputar simpang lima hampir tiap malam selalu full tenda... dan rata-rata terisi semua ?"
Kalau aku ditanya demikian biasanya cuma bisa nyengir...bathinku " apa iya sih ?" ..aku sendiri termasuk orang yang jarang jajan ...sehingga untuk bales komentar tersebut jadi ragu-ragu juga..

Semarang "kota lunpia" ...itu yang kelihatannya masih terus melekat dibenak para tamu yang silih berganti berkunjung di kota satu ini. Idiom ini menggaris bawahi bahwa kehidupan di Semarang berkutat diseputar makanan ..yg artinya mgkn juga merefleksikan hobi dari para penduduknya. Tapi anehnya kalau aku ditanya ..." mas, sampeyan suka nggak makan lunpia...?", nah lo! ..sejujurnya aku termasuk yang kurang suka dengan lunpia, entah apa lidahku yang bermasalah atau memang seleraku yang terbilang aneh buat ukuran wong Semarang.

Selain komentar tadi, khusunya bagi kolega yang mau bisnis di kota ini terkadang juga menyindir tentang perilaku wong Semarang.. yang disebutnya sebagai "orangnya pelit...alias jarang mau membelanjakan uangnya terutama untuk hal-hal yang bersifat hiburan dan sebangsanya.." Sekali lagi aku biasanya jadi tambah jengah ... mau protes ..kok nggak cuma satu orang yang ngomong seperti ini .. tapi jika meng"iya"kan kok kelihatannya ada rasa "bersalah"...
Aku langsung teringat beberapa fenomena yang mungkin membenarkan komen dari kolega-ku tersebut, beberapa tahun yang lalu ada supermarket yang terpakas tutup/bangkrut (enggak jelas nasibnya) meskipun sudah berganti-ganti jenis usaha dan mungkin juga pemilik padahal dulunya sangat terkenal, ramai pengunjung dan terletak dilingkungan paling strategis di simpang lima dan didepan pasar Johar..
Belum lagi dilihat dari kelengkapan & kemegahan mall, hotel dan apartemen ternyata masih kalah jauh dibandingkan dengan Solo...!

Padahal Semarang menjadi ibukota Jateng bukannya Solo ...jujur aku sendiri jadi malu dan sekaligus iri kenapa kok kota ini demikian lambatnya berkembang...apa benar karena karakter orang-nya atau warisan budaya dan etos kerja-nya yang jadi biang keladinya ...atau mungkin Anda punya jawaban yang lebih pas teman?